Rabu, 18 Juli 2012

Kejujuran vs Mutu Pendidikan


KEJUJURAN UN vs MUTU PENDIDIKAN
Oleh :
Muhammad Arifin Saddoen *

Melirik sebuah kenyataan pahit yang dialami oleh negeri tercinta seperti menelan buah simalakama. Karena “dosa” yang turun-temurun dilakukan para penguasa pendidikan.

Pelaksanaan
Pelaksanaan ujian nasional (UN) bagi siswa/i SMA/MA/SMK sudah berlangsung beberapa hari yang lalu. UN bagi siswa/i SMP/MTS segera menyusul yang sedianya mulai terselenggara tanggal 23 April mendatang dan siswa/i SD/MI akan menyusul selanjutnya. Pelaksanaan UN yang serentak di seluruh Indonesia, dengan jumlah peserta jutaan orang tentu membutuhkan kerja ekstra baik pemerintah, pelaksana lapangan, pelaksana teknis sampai orang yang tak berkecimpung di dunia pendidikan. Mengapa tidak UN menjadi tolok ukur paling utama mengenai kualitas pendidikan di negeri ini. Demikian pula keberhasilan pelaksanaan UN dan kualitas kelulusan yang kemudian dicapai pun menjadi pembuktian valid seberapa besar SDM per peserta dan juga pengajar/pendidik.
Demikian juga menjadi bukti seberapa besar campur tangan pemerintah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Beberapa hasil yang kemudian diperoleh menjadi kesimpulan, apakah mutu pendidikan kita sudah semakin baik atau sebaliknya.
Berbicara soal kualitas mutu pendidikan, tentu kita perlu menelisik kualitas mekanisme pembuktian mutu itu sendiri. Dalam hal ini ialah seberapa jauh kualitas pelaksanaan ujian nasional. Kualitas pelaksanaan yang ditekankan di sini ialah pelaksanaan ujian nasional yang dilaksanakan dengan jujur. Di mana para peserta betul-betul diuji kemampuan individu mereka dalam mengerjakan soal tanpa bantuan jawaban dari siapa pun. Dari sinilah kemudian terdapat indikator utama kualitas dan mutu pendidikan kita secara kolektif.

Kepekaan Pempus
Walaupun  secara kuantitatif (persentasi)  mutu pendidikan kita semakin baik, namun secara kualitatif tidak. Tiap tahun memang semakin banyak peserta yang lulus dan semakin tinggi persentasi kelulusan, namun kualitas dan kenaikan persentasi yang kita peroleh itu sebagian besar hasil ketidakjujuran dalam pelaksanaan. Di mana terjadi pembocoran soal, bahkan jauh hari sebelum ujian terlaksana, pemberitahuan dari guru sendiri, sogok-menyogok untuk melonggarkan daya pengawasan dan segala trik lainnya.
Aroma ini tercium oleh pemerintah pusat. Beberapa tahun lalu, kebijakan diambil dengan menambah mata pelajaran yang diujikan dari tiga menjadi lima atau enam. Sistem paket soal diberlakukan di mana soal antara setiap paket, acak dan berbeda. Selain itu nilai standar kelulusan pun terus meningkat tiap tahun. Daya pengawasan ujian diupayakan semakin ketat.
Kemudian penggandaan soal yang semula dilakukan di daerah, kini dilakukan di pusat. Dan yang dapat melakukan penggandaan ialah percetakan yang memiliki security printing, sehingga sumber awal kebocoran (tempat percetakan) langsung dipangkas. Tapi melihat realita yang kita rasakan sekarang ini ketidakjujuran masih “bersemayam” dipelaksanaan UN tahun ini.


Jangan takut jujur
Kita harus belajar untuk jujur. Pemerintah harus mengkampanyekan ini pula dan perlu membuat regulasi tertentu untuk meningkatkan pengawasan. Misalnya aparat kepolisian yang turut mengawasi diinstruksikan untuk berjaga serius sampai selesai bukan menjadi kesempatan bermolor kerja bagi mereka.
Upaya pemerintah menyembunyikan muka pun tidak perlu lagi dilakukan dengan cara yang tidak sepatutnya. Misalnya dengan menginstruksikan kepala dinas dan pelaksana, agar dengan cara apa saja, yang penting anak-anak (peserta ujian) bisa lulus semua. Sebenarnya ini adalah dosa pendidikan paling besar. Dengan dalih kasihan pada peserta, pelaksana teknis mengamini segala bentuk ketidakjujuran. Inilah praktik  solidaritas yang salah dalam dunia pendidikan. Kebiasaan ini terus berpola. Selama ini tidak diubah, potret pendidikan kita terus seperti ini. Nomor ekor hasilnya. Sikap ini yang banyak kali ditunjukkan pelaksana teknis yakni para panitia pelaksana, kepala sekolah, guru, dan pengawas. Pelaksana teknis sedianya sebagai orang-orang yang paling dekat dengan para peserta. Kesadaran kolektif untuk  menjamin sebuah pelaksanaan UN yang  berkualitas (berkejujuran tinggi) sangatlah penting. Karena itu hal ini merupakan tanggung jawab langsung dari pelaksana teknis ini.
Hal-hal yang menodai reliabilitas individu para peserta perlu dijauhkan dengan tekad mulia meningkatkan mutu pendidikan. Maka itu, tidak perlu lagi ada joki-jokian dalam ujian nasional. Tidak perlu ada bisik-bisik di kamar belakang. Tidak perlu ada kertas-kertas sumbang yang beredar dari meja ke meja. Tidak perlu ada sogok-menyogok dan tutup mulut. Tidak perlu ada pembiaran sistematis terhadap segala bentuk kecurangan di dalamnya.
Peserta dibiarkan bekerja sesuai kemampuan. Apa pun hasil yang diperoleh menjadi pembelajaran berharga dan koreksi telak bagi kepala sekolah beserta jajaran guru. Menjadikan pula sebuah  introspeksi diri, sejauh mana daya dan upaya  transfer ilmu yang sudah dilakukan selama ini.

Jujur Berprestasi
Jujur dan Berprestasi merupakan tagline kemendiknas untuk ujian nasional kali ini. Tagline yang yang menjadi aras bersama untuk meningkatan mutu pendidikan kita. Karena itu untuk mencapai mutu yang baik, prestasi yang membanggakan, maka kejujuran dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) adalah harga mati. Tagline ini memiliki korelasi dalam sebuah pemaknaan yang dalam. Jujur akan membawakan prestasi tentunya. Prestasi akan begitu mahal dan berharga nilainya jika diperjuangkan dengan  semangat kejujuran yang tinggi.
Tetapi apabila prestasi yang kemudian diperoleh ialah hasil dari ketidakjujuran maka sesungguhnya itu bukan lagi prestasi namun kemunafikan. Kemunafikan menjadi senjata antarwaktu yang akan terus menciderai mutu pendidikan kita.

*Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman Al-Hakim
Hidayatullah Surabaya

0 komentar:

Posting Komentar