Selasa, 03 Juli 2012

Antara Realita dan Problematika

A. Realita dan Problematika Pendidikan di Indonesia.
Secara kuantitatif dapat dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia telah mengalami kemajuan. Indikator pencapaiannya dapat dilihat pada kemampuan baca tulis masyarakat yang mencapai 67,24%. Hal ini sebagai akibat dari program pemerataan pendidikan, terutaman melalui IMPRES SD yang dibangun pada rezim Orde Baru. Namun demikian, keberhasilan dari segi kualitatif pendidikan di Indonesia belum berhasil membangun karakter bangsa yang cerdas dan kreatif apalagi unggul. 

Banyaknya lulusan lembaga pendidikan formal, baik tingkat sekolah menengah hingga tingkat tinggi, terkesan belum mampu mengembangkan kreativitas dalam kehidupan mereka. Lulusan sekolah menengah sukar untuk bekerja di sektor formal karena belum memiliki keahlian khusus, demikian juga bagi lulusan sekolah atas yang bukan kejuruan. Bagi sarjana, hanya sedikit saja yang bisa bekerja di sektor formal. Saat ini banyak sarjana di Indoanesia hanya memiliki karakteristik antara lain, hanya memahami teori, memiliki keterampilan individual, motivasi belajar hanya untuk lulus ujian, berorientasi pada pencapaian grade atau pembatasan target, orientasi belajar hanya pada mata kuliah individual secara terpisah, proses belajar bersifat pasif, hanya menerima informasi dari dosen, serta penggunaan teknologi terpisah dari proses belajar. 

Padahal, sumber daya manusia yang diperlukan dalam pasar kerja, antara lain kemampuan solusi masalah berdasarkan konsep ilmiah, memiliki keterampilan team work, mempelajari bagaimana belajar yang efektif, berorientasi pada peningkatan terus-menerus dengan tidak dibatasi pada target tertentu saja. Saat ini banyak lembaga industri (swasta, BUMN, dan Pemerintah) sering menuntut persyaratan tertentu terhadap lulusan pendidikan formal untuk bekerja di lembaga-lembaga tersebut. Penguasaan Bahasa Inggris, keterampilan komputer, dan pengalaman kerja merupakan persyaratan utama yang diminta. Sementara Ijazah yang diperoleh selama 20 hingga 25 tahun dari lembaga pendidikan formal terabaikan. Hal inilah yang memberikan indikasi kepada kita bahwa lulusan pendidikan kita belum layak pakai. Dari kenyataan ini terlihat adanya kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai dalam menghasilkan output pendidikan formal dengan pengelolaan pendidikan , termasuk di dalamnya pengelolaan pembelajaran 
Pemerintah dalam upayanya memperbaiki sistem pendidikan nasional memberlakukan standarisasi pendidikan nasional. Kualitas pendidikan diukur dengan strandar dan kompetensi. Standarisasi dalam bidang pendidikan antara lain menghasilkan ujian nasional sebagai tolok ukur untuk menentukan nasib anak. Dengan materi ujian berupa bahasa Indonesia, Matematika, bahasa Inggris dan mata pelajaran jurusan. Maka untuk mengantisipasi rendahnya angka ketidaklulusan, maka beberapa mata pelajaran dikurangi jam belajarnya, termasuk didalamnya pendidikan Agama. Lantas dimanakah fungsi pedidikan nasional untuk membentuk manusia yang bertaqwa pada Tuhannya, jika mata pelajaran agama tidak dimasukkan dalam materi ujian nasional?

B. Sebab Terjadinya Problem Pembelajaran.
Adanya problem pembelajaran di Indonesia, menurut penulis terjadi karena beberapa faktor. Dalam hal ini penulis akan membatasi penyebab terjadinya problem pembelajaran karena tiga faktor, yaitu; pertama faktor pendekatan dalam pembelajaran. Kedua dari faktor perubahan kurikulum. Dan ketiga faktor kompetensi guru.
1. Faktor Pendekatan Pembelajaran.
Menurut Degeng problematika yang muncul pada masyarakat Indonesia, bermula dari gagalnya sistem pendidikan. Bermula dari pendidikan keluarga, lingkungan sekitar, dan pendidikan sekolah. Semuanya kurang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan kekacauan, sehingga anak yang menjadi korbannya.
Lebih lanjut Degeng menjelaskan bahwa asumsi-asumsi yang melandasi program pendidikan sering tidak sejajar dengan hakekat belajar. Menurutnya dunia belajar, didekati dengan paradigma yang kurang mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran secara komperehensif. Pendidikan dan pembelajaran selama ini hanya menekankan pada prilaku keseragaman, dengan harapan akan mengahasilkan keteraturan, ketertiban, dan kepastian. Paradigma pembelajaran yang mengutamakan keseragaman telah berhasil membelajarkan siswa untuk menghargai kesamaan dan sulit menghargai perbedaan. Prilaku yang berbeda di antara mereka lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus di hukum.
Maka perlu dilakukan reformasi, redefinisi, dan reorientasi bahkan revolusi terhadap landasan teoritik dan konseptual belajar dan pembelajaran agar dapat menumbuhkembangkan anak-anak bangsa yang bisa menghargai keberagaman dan perbedaan. Peserta didik adalah manusia yang identitas insaninya sebagai subjek kesadaran perlu dibela dan ditegakkan. Melalui proses pendidikan yang bersifat “bebas dan egaliter”. Peserta didik harus diperlakukan dengan hati-hati, demokratis, bebas melakukan tindakan belajar sesuai dengan karakteristiknya dan keaktifan siswa menjadi unsur utama dalam menentukan hasil belajar.
Konsekuensi dari penemuan di atas adalah adanya pembaharuan hubungan antara guru dan murid. Jika selama ini guru lebih otoriter, sarat komando, instruktif, perlu dirubah peranannya sebagai ibu/bapak, kakak, sahabat, bahkan mitra. Bisa jadi dalam beberapa hal guru berperan sebagai murid dan murid justru sebagai gurunya. Proses belajar tidak perlu menggunakan praktek kompetensi dengan pemberian rangking. Karena hal tersebut akan membentuk manusia-manusia eksklusif, mengembangkan kebanggaan, dan disisi lain menyebabkan penderitaan batin siswa yang lemah. 
Lain halnya dengan pendapat ulama’ Islam tentang pendidikan, menurut mereka dalam mencari ilmu seorang murid harus bersusah payah dahulu, menjauhkan diri dari kemaksiatan, tekun, mencintai dan menghormati gurunya, serta membutuhkan waktu yang panjang. al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ ‘Ulum al-Di>n, menjelaskan bahwa setidaknya ada enam kewajiban yang harus dilaksanakan murid dalam belajar, yaitu:
1. Mendahulukan kesucian jiwa.
2. Merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
3. Tidak menentang guru (menyombongkan ilmunya).
4. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
5. Rajin, tekun belajar.
6. Menjadikan ilmu jangka panjang sebagai prioritas utama. 
Al-Abrashi menambahkan tugas siswa dalam belajar adalah; 
1. Menerima guru dengan baik.
2. Tidak menipu guru.
3. Menjaga adab.
4. Belajar sampai akhir hayat. 
Dari dua pendapat ulama’ Islam di atas menunjukkan bahwa pembelajaran tidaklah mudah dan harus bersusah payah dahulu untuk keberhasilan dalam menempuh ilmu. 
Secara teoristis ada beberapa model pendekatan pembelajaran yang mengedepankan keatifan siswa dalam pembelajaran, yaitu: 
a. Teori kognitif/ konstruktivistik.
Teori kognitif/konstruktivistik menekankan bahwa belajar lebih banyak ditentukan karena adanya karsa individu. Menurut teori ini pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep-konsep atau kaidah yang siap diambil atau diingat, melainkan harus dikonstruk dan diberi makna melalui pengalaman empirik. Keaktifan siswa menjadi unsur terpenting dalam menentukan keberhasilan belajar. 
Cara menciptakan proses pembelajaran menurut teori ini adalah:
1) Peserta didik perlu di biasakan memecahkan masalah, menentukan sesuatu yang berguna baginya dan bergelut dengan ide-ide.
2) Siswa dibiasakan mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri.
3) Siswa dilatih untuk menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain.
4) Guru hendaknya memfasilitasi proses ini dengan mengajar menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa.
5) Guru memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan dan mengaplikasikan ide-idenya. Disamping mengajarkan siswa untuk menemukan strategi yang tepat untuk belajar.
b. Teori Humanistik.
Menurut teori ini belajar bukan sekedar pengembangan kualitas kognitif saja, melainkan sebuah proses yang terjadi dalam individu yang melibatkan seluruh aspek domain yang ada baik kognitif, afektif maupun psikomotorik. Pendekatan humanistik dalam pembelajaran merupakan titik tekan pada pentingnya emosi, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki tiap siswa. Maka tujuan pembelajaran menurut teori ini tidak hanya mencakup aspek domain kognitif saja melainkan bagaimana siswa menjadi individu yang bertanggung jawab, penuh perhatian terhadap lingkunggannya, mempunyai kedewasaan emosi dan spiritual. Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. 

c. Teori Pendidikan Islam
Hakekat dari pendidikan Islam adalah pengembangan fitrah manusia lewat aktifitas pengajaran, bimbingan, pelatihan dan keteladanan sesuai dengan petunjuk Allah dan RasulNya, menuju terbentuknya kepribadian individu, dan kehidupan masyarakat yang sempurna secara fisik, intelektual, dan spiritual dalam rangka pengapdian kepada Allah SWT. 
Secara umum ada dua pendekatan dalam pendidikan Islam, yaitu;
1. Tradisional (Naqly)
Dalam pendekatan ini ajaran Islam diposisikan sebagai pola hidup yang sudah mapan berdasarkan prinsip Ketuhanan. Ketika guru mengajarkan pada murid ia harus berangkat dan semantiasa memegang teguh keimanan terhadap Allah SWT dengan segala titahNya dalam kehidupan ini. Dalam hal ini siswa hendaknya diberi penekanan untuk meneriam secara mutlak eksistensi ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Hadith. 
Ciri-ciri dari pendekatan naqly ini adalah sebagai berikut:
a) Agama diposisikan sebagai pola hidup berdasarkan Ketuhanan.
b) Norma moralitas sebagai tolok ukur keberhasilan.
c) Penanaman keta’ziman kepada guru sebagai dasar wibawa guru.
d) Terjalin hubungan yang erat antara guru dan murid.
2. Pendekatan Modern (Aqly)
Ajaran Islam diposisikan sebagai fenomena sosial bukan sebagai pola hidup berdasarkan Ketuhanan. Dalam hal ini guru bersifat netral terhadap keyakinan dan kebenaran. Juga sikapnya untuk mempengaruhi menanamkan nilai-nilai kehidupan tertentu pada peserta didik. Sebaliknya siswa diposisikan sebagai individu yang terus berkembang, sedangkan ajaran moral dalam agama bukan sebagai tujuan utama dalam pembelajaran. Nilai-nilai keislaman hanya sebagai kebutuhan eksternal, material dan sosial pada siswa. Bukan dihayati sebagai pedoman hidup yang harus ditaati.
Sedangkan ciri-ciri dari pendekatan ini adalah:
a) Agama sebagai fenomena sosial dan merupakan realitas sosial.
b) Kemampuan akademis dan prestasi akademis sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan.
c) Keta’ziman akan berhasil jika ditanamkan oleh guru.
d) Hubungan antara guru dan murid tidaklah penting. 

2. Faktor Perubahan Kurikulum
Jatuh bangunnya kualitas pendidikan di Indonesia juga disebabkan sering berubahnya kurikulum yang diterapkan pada pembelajaran. Fenomena yang sering terjadi di Indonesia yaitu setiap pergantian kabinet pemerintahan, dalam hal ini menteri pendidikan, maka berubah pula kurikulum yang diterapkan. Padahal setiap pengajar baik di tingkat SD hingga universitas terlibat dalam masalah kurikulum.
Kurikulum merupakan pijakan guru kemana arah pembelajarannya, apa tujuan yang harus dicapai, perubahan tingkah laku apa yang harus dibangkitkan, apa kesulitan, kelemahan, hingga bagaimana tindakan yang tepat yang harus dilakukan siswa untuk pembelajaran selanjutnya. Kurikulum yang ditetapkan pemerintah dapat dikatakan harga mati yang harus dipenuhi. Hanya gurulah yang memberi “hidup” pada pedoman kurikulum yang diterbitka oleh pemerintah. Karena guru merupakan tokoh utama dalam untuk mewujudkan kurikulum tersebut agar terjadi perubahan kelakuan siswa menurut apa yang diharapkan. 
3. Faktor Kompetensi Guru.
Profesionalisme guru merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Guru, dinyatakan bahwasanya salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh guru adalah kompetensi professional. Kompetensi profesional yang dimaksud dalam hal ini merupakan kemampuan guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Maksudnya seorang guru harus menguasai kemampuan akademik lainnya yang berperan sebagai pendukung profesionalisme guru. Kemampuan akademik tersebut antara lain, memiliki kemampuan dalam menguasai ilmu, jenjang dan jenis pendidikan yang sesuai. 
Berbagai kendala yang dihadapi sekolah terutama di daerah luar kota, umumnya mengalami kekurangan guru yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan subjek atau bidang studi yang sesuai dengan latar belakang guru. Akhirnya sekolah terpaksa menempuh kebijakan yang tidak popular bagi anak, guru mengasuh pelajaran yang tidak sesuai bidangnya. Dari pada kosong sama sekali, lebih baik ada guru yang bisa mendampingi dan mengarahkan belajar di kelas

C. Solusi
1. Arah Baru Pembelajaran di Indonesia.
Hendaknya seorang guru tidak hanya mengutamakan mata pelajaran, tetapi harus memperhatikan anak itu sendiri sebagai manusia yang harus dikembangkan pribadinya. Seorang guru harus memelihara perkembangan intelektual dan perkembangan psikologi anak secara seimbang. Tujuan utama dalam pembelajaran tidak hanya penguasaan aspek kognitif siswa, tetapi juga penguasaan aspek afektif dan psikomotorik. Pendidikan memerlukan kebebasan akan tetapi juga pengendalian. Larangan dan konflik, maupun kebebasan dan kepuasan merupakan bagian dari pendidikan. Tertalu banyak tekanan atau kebebasan berbuat sekehendak hati keduanya dapat mengahalangi perkembangan siswa. Terlampau banyak otoritas menghalagi siswa bersikap mandiri.  
Siswa harus diberi kesempatan yang cukup untuk berkarya tanpa diatur atau diawasi ketat oleh seorang guru. Disamping itu mereka juga harus melakukan kegiatan sesuai dengan petunjuk dan dibawah pengawasan guru. Dalam kehidupan riil manusia akan lebih banyak mengahadapi berbagai persoalan yang berat, membosankan dan menimbulkan konflik, daripada kegiatan yang bebas dan menyenangkan. Ia harus menyesuaikan diri dengan dunia nyata, adat kebiasaan serta norma-norma dunia sekitarnya. Oleh sebab itu siswa/ anak-anak perlu sejak dini diperkenalkan dengan kenyataan yang terjadi di dalam kehidupan. 
Dalam konsep pembelajaran antara metode konvensional dan metode modern hendaknya diterapkan secara seimbang. Metode konvensional, pendidikan satu arah jangan selamanya di tinggalkan, karena metode pembelajaran ini sangat relevan dengan materi keagamaan. Upaya menanamkan jiwa ke-Tauhid-an bisa dilakukan dengan cara melakukan doktrin terhadap siswa. Pendidikan konvensional dapat membentuk siswa yang memiliki akhlaq mulia, tawadhu’, ahli ibadah, patriotik mencegah kemungkaran dan kebatilan.
Sedangkan accelerated theaching and learning (pembelajaran menyenangkan) dapat diterapkan pada materi tentang ilmu keduniaan yang terus berkembang, sehingga seorang guru membutuhkan metode yang bervariasi dalam menyampaikan materi. Atau jika dalam pendidikan di perguruan tinggi, dibutuhkan perubahan proses belajar dari metode konvensional berupa kuliah atau ceramah, menjadi case problem based learning yang mengandalkan analisis kasus dan solusi masalah sehingga memperoleh keterampilan sebagai problem solver yang handal. 
2. Tugas dan Tanggung Jawab Guru.
a) Kompetensi Profesionalisme Guru.
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru, dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Untuk itu seorang guru harus mempunyai kompetensi dalam bidangnya. Kompetensi menurut Louise Moqvist adalah “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.” 
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan. Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya. 
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka kompetensi guru dapat artikan sebagai seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. 
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
1) Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya. 
2) Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas. 
3) Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.  
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 
2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan. 
3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. 
4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.  
b) Guru Sebagai Suri Tauladan.
Definisi yang kita kenal sehari-hari bahwa guru adalah orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti bahwa guru adalah orang yang mempunyai wibawa atau kharisma hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Guru mempunyai pengaruh terhadap perubahan prilaku siswa. Pedidikan adalah usaha membimbing anak ke arah kedewasaan sesuai dengan tujuan pendidikan. Ada kalanya guru harus menunjukkan jalan, menyuruh anak, mengatakan kepada mereka apa yang harus dilakukan dan bila perlu melarang mereka apabila melakukan sesuatu yang menyimpang dan merugikan.
Guru yang membiarkan anak didiknya melakukan apa yang mereka inginkan tanpa memberi bimbingan, justru akan mengakibatkan anak didiknya mengalami gangguan mental karena tidak mempunyai pegangan yang tegas dalam hidupnya akibat kebebasan yang berlebihan, sehingga ia tidak tahu norma-norma yang menjadi ukuran tingkah laku mereka. 
c) Kesulitan Dalam Belajar
Guru yang mengajar dengan baik adalah guru yang profesional. Guru dituntut untuk memotivasi dan melibatkan siswa dalam proses belajar dengan menggunakan gaya (style), strategi serta tehnik belajar yang sesuai dengan konteks pembelajaran. Tugas-tugas pembejaran disusun demi kebutuhan-kebutuhan belajar individu, dan pebedaan-perbedaan latar belakang siswa serta mengoptimalkan waktu belajar. Perlunya memperhitungkan efek-efek perbedaan kemampuan fisik, intelektual, dan ketersediaan alam selama proses belajar dengan mengingat bahwa siswa mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Untuk itulah, gaya mengajar guru harus mengacu pada perbedaan individu siswa supaya tidak terjadi pembodohan kepada siswa.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendidikan sebagai suatu sistem pencerdasan anak bangsa saat ini dihadapkan pada berbagai pesoalan tantangan globalisasi. 
2. Berbagai persoalan pembelajaran terutama yang menyangkut metode pembelajaran yang tepat bagi anak didik perlu dicari jalan tengah yang terbaik sebagai solusinya.
3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.

0 komentar:

Posting Komentar