Selasa, 03 Juli 2012

Alangkah Lucunya Pendidikan kite



“Lho nyuru gue ngejelasin pentingnya pendidikan, sedangkan gue sendiri tidak yakin pendidikan itu penting”
“Waktu gue kuliah, gue pikir pendidikan itu penting, tapi setelah gue keluar kuliah baru ngerti ternyata pendidikan itu tidak penting”

Begitulah cuplikan menarik dari film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”.
Cuplikan itu diambil dari pemeran Samsul yang mempunyai gelar sarjana pendidikan. Dia baru merasakan bahwa pendidikan itu tidak penting dan tidak bermanfaat sama sekali untuk dia bahkan juga untuk orang lain setelah lulus dari kuliahnya. Padahal  dulunya, dia mendewa-dewakan yang namanya pendidikan. Mungkin, ia sudah termakan oleh pemahan kebanyakan orang bahwa dengan pendidikan manusia bisa berguna dan akan mendapatkan penghidupan (pekerjaan) yang layak. Makanya ia susah payah melanjutkan keperguruan tinggi, namun akhirnya penyesalan yang ia dapat.
Cuplikan itu merupakan bentuk kekecewaan Samsul pada negeri ini yang sama sekali tidak menghargai kemampuan rakyat kecil. Bagi Samsul, hal itu patut diucapkan karena dia setelah lulus kuliah lalu melamar pekerjaan, eh ternyata bukan kemampuannya yang ditanyatakan tetapi uang yang pertama kali dibicarakan sebagai pelicin bagi kelolosannya masuk kerja. Bayangkan hal demikian itu terjadi pada diri kita, maka saya yakin kita akan mengata-ngatai pendidikan sebagai sebuah proses yang melebarkan jurang ketidakadilan dan sebagai mata rantai dari proses pemiskinan sistemik.  
Kalau demikian, memang benar bahwa pendidikan tidak penting tapi yang penting adalah uang karena bagi kebanyakan orang, uang adalah segala-segalanya. Sehingga dengan demikian, orang miskin sepintar siapapun dilarang memperoleh pekerjaan yang layak. Rekrutmen CPNS di berbagai daerah tak jarang mendapat kritik keras dari masyarakat karena banyaknya kejanggalan yang terjadi, mulai dari pembocoran soal hingga sanak keluarga dan teman dekatnya yang diloloskan.
Tokoh Samsul merupukan representasi dari sejuta makhluk produk sekolahan yang tidak mempunyai jaringan sama sekali yang ada di birokrasi negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum bagi bangsa ini, bahwa untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan kemampuannya kalau tidak mempunyai jaringan atau keluarga yang bisa menolong dari birokrasi itu mustakhil bisa mendapat pekerjaan yang sesuai keahliannya, atau sepintar siapapun orang di negeri ini kalau tidak mempunyai uang pelicin ketika melamar kerja mustakhil bisa lolos dan mendaptkan pekerjaan yang layak.  
Tak ubahnya Samsul, S.Pd. Jaja Mihardja yang memerankan sebagai Haji Sarbini juga menentang akan pentingnya pendidikan. Berkali-kali ia mengatakan kepada Dedi Mizwar bahwa pendidikan itu tidak penting. Bahkan karena kekesalannya Kang Jaja bagitu banyak orang menyebutnya mengatakan kepada Mizwar “pendidikan itu penting kalau ada koneksi, kalau gak, percuma”.
Cuplikan kekecewaan yang sering diucapkan oleh masyarakat Indonesia terutama bagi mereka yang pernah merasakan kekecewaan yang diakibatkan masalah jaringan dan uang pelican dalam masuk kerja, sebenarnya kurang tepat diucapkan bagi wajah pendidikan dan wajah birokrasi negera ini, karena sudah banyak produk pendidikan (sekolah) yang mampu memeberi warna bagi kehidupan berbangsa ini. Pakaian yang kita pakai sehari-hari merupakan contoh terkecil bahwa pendidikan itu penting. Atau kata Darmaningtyas dalam sebuah bukunya menyebutkan bahwa dengan pendidikan manusia tidak mudah ditipu.
Tetapi kalau dilihat lebih dalam lagi pernyataan itu tampaknya ada benarnya, karena tak jarang kita temui manusia produk pendidikan (sekolah) yang masih melakukan tindakan yang tidak diperbolehkan oleh hukum Negara dan agama. Hal itu sungguh menyimpang dari garis tujuan pendidikan yang mengharapkan bagi insan pendidikan, semakin tinggi ilmunya diharapkan semakin mempunyai moral yang tinggi pula. Dalam perkataan Paulo Friere semakin tinggi ilmunya semakin manusiawi orang itu.
Ambil contoh korupsi. Para koruptor semuanya jebolan pendidikan yang notabenependidikan lanjut (S1 keatas). Secara intelektual mereka pinter bahkan tak jarang tergolong pada level genius, tetapi secara moral, mereka lebih kejam dari pada binatang buas yang setiap saat menikam dan memangsa makhluk sebangsanya. Itu semua tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan dinegeri ini yang tidak sukses. Seharusnya dengan pendidikan manusia lebih manusiawi bukan malah sebaliknya. Tepatnya kita mengatakan pendidikan Indonesia ini telah kehilangan ruhnya sehingga tidak bisa membuat orang lebih bermartabat dan berakhlak.
Film yang berdurasi 1 jam 43 menit ini merupakan bentuk kritikan social bagi negeri yang memelihara makhluk yang bertopeng manusia (pelaku KKN) ini. Bangsa ini bobrok karena sudah bertahun-tahun para pelaku KKN dibiarkan hidup bahkan tak jarang dari mereka masih diberi fasilitas baik oleh negera bahkan mereka yang telah menjalani hukuman masih diberi remisi atau ampunan berupa pengurangan hari tahanan, bahkan dari mereka banyak yang dinyatakan bebas dari penjara. Padahal seharusnya mereka tidak diberi ampuanan karena mereka tak ubahnya tukang jagal yang membunuh rakyat pelan-pelan. Sungguh ironis sekali ketika berbicara keadilan di negeri ini, hukum negera hanya tajam pada rakyat kecil yang tidak berdaya sedangkan bagi rakyat besar (penguasa) jadi tumpul.
Beberapa waktu lalu Manisih mencuri buah randu seharga sebesar Rp.12.000 dihukum 30 hari dan Nurdin Halid, Ketua Koperasi Distribusi Indonesia divonis 2 tahun (730 hari) penjara dengan nilai korupsi Rp.169.7 miliar. Curian Manisih sama artinya dengan mencuri Rp.400 dikenai hukuman satu hari sedangkan Nurdin Halid mencuri sebesar Rp.232 juta dan dihukum satu hari juga  (kompas 26-08-2010). Perbandingan itu memang tidak ada dalam materi hukum tetapi dengan adanya perbandingan itu diharapkan bisa membuat mata kita melek dan maju menegakkan keadilan. Karena dalam kitab undang-undang negera ini, semua orang dipandang sama tidak ada yang namanya anak Negara dan atau anak buruh dan lain sebagainya

0 komentar:

Posting Komentar